Animator Pakistan, Junaid Miran, memutuskan untuk menghentikan rencananya menuntut produksi film Merah Putih: One for All dan memilih jalur damai. Keputusan ini diambil setelah gelombang dukungan kuat dari netizen Indonesia, yang memunculkan harapan atas penyelesaian yang lebih konstruktif.
Sebelumnya, Miran menyatakan bersiap menggugat pihak film karena aset karakter 3D yang diciptakannya digunakan tanpa izin atau kompensasi. Dalam video YouTube-nya, ia mengungkapkan bahwa animasi tersebut mirip dengan bagian dari trailer film dan didukung suara AI berbahasa Indonesia. Keberaniannya menuntut dilandasi keinginan memberi keadilan. “Saya siap meminta pertanggungjawaban atas ketidakadilan,” ujarnya. Namun, ia juga mengakui bahwa menangani proses hukum lintas negara bukan perkara mudah. Ini menjadi faktor penting yang membuatnya memilih jalur damai.
Komunitas digital pun memberi dukungan moral yang luar biasa. “Saya melakukan ini karena Anda percaya pada saya dan memberi keberanian,” kata Miran menanggapi dukungan netizen. Meski demikian, ia secara tegas menyatakan tidak akan menuntut royalti dari karya yang dibeli individu, melainkan fokus pada dialog damai dengan pembuat film.
Film Merah Putih: One for All sebenarnya belum mencetak sukses besar di box office dengan penonton hanya sekitar 2.000 orang sejak penayangan dekat Hari Kemerdekaan. Namun masalah lain yang lebih besar muncul: kreativitas animator tersebut merasa diabaikan. Meski film ini ingin menjadi simbol patriotisme dan semangat kebangsaan, konflik hak cipta menciptakan ketegangan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai tersebut.
Langkah damai ini memiliki makna lebih luas. Miran tidak hanya menurunkan tensi, tetapi juga memberi contoh bahwa perselisihan kreatif bisa diselesaikan dengan bijak tanpa harus masuk ke ranah peradilan. Ini memberi pesan kuat: solidaritas komunitas kreator lebih penting daripada ego atau keuntungan materi. Dialog dan rekonsiliasi menjadi nilai utama atau seperti yang Miran katakan dalam pesan singkatnya, “Saya tidak bisa melakukannya sendirian.”
Keputusan ini membuka ruang bagi dialog terbuka dan transparan antara animator independen dengan industri film lokal. Alih-alih mengutuk atau mempermalukan, penghargaan terhadap karya intelektual harus diwujudkan dalam bentuk kerja sama. Miran jadi simbol bahwa perbedaan pandangan bisa diakhiri dengan itikad baik, bukan kekerasan hukum.