Di tengah kemajuan dunia teknologi, jarang sekali sebuah raksasa seperti Microsoft diguncang oleh gejolak internal, bukan oleh persaingan pasar. Namun itulah yang terjadi di kantor pusat Microsoft di Redmond, Washington, ketika puluhan karyawan—baik yang masih aktif maupun mantan pegawai—melancarkan aksi protes atas dugaan keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Aksi ini dipicu oleh laporan investigatif dari The Guardian, bekerja sama dengan +972 Magazine dan Local Call, yang mengungkap bahwa layanan cloud Azure dari Microsoft diduga digunakan oleh Unit 8200, badan intelijen militer Israel, untuk menyimpan jutaan rekaman suara warga Palestina. Bagi sejumlah karyawan, kabar ini menggugah kesadaran moral: teknologi yang mereka kembangkan dituding menjadi bagian dari sistem pengawasan yang represif.
Sebagai bentuk perlawanan, para pekerja mendirikan area protes di plaza utama kantor pusat Microsoft. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Stop Starving Gaza,” mendirikan tenda-tenda, dan menamai area tersebut “Martyred Palestinian Children’s Plaza” sebagai simbol peringatan dan penolakan. Aksi ini bukan sekadar simbolik, melainkan representasi nyata dari keresahan moral terhadap arah kebijakan perusahaan.
Meski awalnya berlangsung damai, situasi berubah saat sebagian peserta aksi menolak meninggalkan lokasi. Polisi Redmond akhirnya menangkap 18 demonstran, termasuk insinyur perangkat lunak Microsoft Anna Hattle, serta dua aktivis utama, Hossam Nasr dan Vaniya Agrawal. Mereka dikenai tuduhan pelanggaran properti dan gangguan terhadap ketertiban umum.
Menanggapi situasi ini, Microsoft menyatakan bahwa mereka tengah melakukan tinjauan independen melalui firma hukum Covington & Burling. Perusahaan menegaskan bahwa seluruh layanan Azure beroperasi dalam kerangka etika AI dan prinsip hak asasi manusia. Namun, pernyataan tersebut belum cukup meredakan kritik dari pihak internal maupun eksternal.
Yang membuat peristiwa ini menonjol adalah pergeseran peran para pekerja teknologi—dari sekadar pengembang di balik layar menjadi suara aktif dalam isu moral global. Protes ini mencerminkan kesadaran bahwa teknologi bukanlah entitas netral. Setiap keputusan teknis membawa konsekuensi nyata, dan bagi sebagian pekerja, tanggung jawab etis tak bisa lagi diabaikan.